HMPS Hubungan Internasional

Universitas Diponegoro

Kabinet
Suar Baraya

DIBUAHI x DEEP DIVES – Overcoming the Climate Crisis in the Policy Landscape and it’s barriers

Permasalahan cukup serius yang tengah dihadapi oleh dunia saat ini tak lain dan tak bukan adalah mengenai perubahan iklim. Akibat dari masifnya bahasan akan hal tersebut, pada tanggal 16 Juli 2022, Bidang Keilmuan dan Analisis (BKA) HMPS Hubungan Internasional Universitas Diponegoro yang berkolaborasi dengan HMJ Hubungan Internasional Universitas Lampung menggelar sebuah diskusi rutin, yakni DIBUAHI x DEEP DIVES yang bertajuk “Overcoming the Climate Crisis in the Policy Landscape and Its Barriers”. Diskusi tempo waktu lalu turut mengundang dua dosen dari latar belakang yang berbeda, yang penelitiannya berbasis pada lingkungan dan krisis iklim. Kedua dosen tersebut ialah Prof. Dr. -Ing. Wiwandari Handayani yang merupakan seorang guru besar jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro dan Indra Jaya Wiranata, MA—dosen dan peneliti di departemen Hubungan Internasional Universitas Lampung. Diskusi tersebut berlangsung selama sekitar dua jam dengan cukup interaktif dan dihadiri oleh kurang lebih 80 peserta.

Perubahan iklim yang saat ini tengah dihadapi oleh dunia mendapatkan banyak atensi serta sorotan penuh. Tak hanya pada masyarakat global, tetapi juga para petinggi dunia. Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan oleh negara-negara sebagai bentuk dari penanganan krisis iklim yang ada. Salah satu dari upaya tersebut adalah adanya rezim iklim (climate regime) yang hadir untuk menjadi mitigator dalam penanggulangan krisis iklim antar negara. Namun, dalam rezim iklim tersebut yang di dalamnya termuat aturan-aturan sebagai pemandu para aktor dalam melaksanakan usaha-usahanya, ternyata dapat berbenturan dengan kebijakan masing-masing negara yang telah ada sebelumnya. Baik itu negara maju maupun negara berkembang sama-sama memiliki kepentingan dan prioritas masing-masing dalam hal penanggulangan perubahan iklim yang terjadi. Melihat hal tersebut, maka dalam kegiatan DIBUAHI x DEEP DIVES membahas mengenai tiga pertanyaan penting yang cukup untuk mengkritisi permasalahan perubahan iklim yang tengah terjadi.

Pertama, guna membekali peserta untuk berdiskusi, kegiatan diskusi dibuka dengan pemaparan materi oleh Prof. Wiwandari yang memberikan judul bahasannya dengan “Urgensi Internalisasi Krisis Perubahan Iklim dalam Kebijakan”. Dalam pemaparan, Prof. Wiwandari mengatakan bahwa perubahan iklim akan sangat erat hubungannya dengan pemanasan global yang terjadi sebagai akibat dari efek rumah kaca. Salah satu hal yang disorot oleh beliau adalah perubahan iklim itu nyata terjadi dan dampaknya perlu untuk diantisipasi. Beberapa fenomena yang sangat terasa dari adanya perubahan iklim, seperti terjadinya kenaikan suhu dan adanya perubahan curah hujan yang terjadi dalam jangka waktu panjang. Fenomena yang diakibatkan oleh perubahan iklim ini turut diteliti oleh berbagai sumber, salah satunya adalah IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Fakta-fakta dapat dilihat dari berbagai dokumen yang telah diacu dalam skala global, yaitu adanya kenaikan konsentrasi karbon dioksida, misalnya tertinggi dalam dua juta tahun terakhir terjadi penurunan glasial, suhu yang terhangat dibandingkan fase-fase sebelumnya, permukaan laut yang semakin naik karena adanya perubahan siklus air yang turut mempengaruhi perubahan curah hujan, dsb.

Prof. Wiwandari menyampaikan, hal terpenting yang perlu dipahami, yakni dalam dokumen IPCC terdapat dua skenario. Pertama, bahwa kita memiliki target di mana perlu melakukan suatu tindakan agresif agar dapat menjaga dan membatasi terjadinya kenaikan suhu yang tidak melebihi dari 1,5 derajat celsius. Jika aksi tersebut tidak dilakukan, maka suhu akan terus meningkat secara tidak terkendali dan perubahan seperti ini akan terus terjadi sampai dengan tahun 2100 dalam skenario IPCC apabila tidak dikendalikan.

Ada dua term dalam aksi-aksi untuk mengatasi fenomena perubahan iklim, yakni mitigasi perubahan iklim dan adaptasi perubahan iklim. Dalam hal ini, mitigasi lebih diarahkan kepada pencegahan dan salah satu contohnya adalah mengurangi emisi karbon yang mana emisi dihasilkan dari zat antropogenik pada kendaraan bermotor. Berkenaan dengan itu, maka solusi dan aksi yang harus dilakukan adalah mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dengan menggantinya menggunakan transportasi publik atau berjalan kaki. Sementara itu, adaptasi adalah bagaimana kita (sistem) merespon dan mengatasi dampak dari perubahan iklim, contohnya dapat diambil dari perubahan pola hujan yang menyebabkan banjir dan dalam adaptasi ini dibahas mengenai cara untuk mengatasi banjir yang berkaitan dengan kebijakan yang mengarah kepada adaptasi perubahan iklim.

Pada dasarnya, kebijakan-kebijakan tersebut telah terinternalisasi di dalam SDGs, khususnya pada SDGs ke-13 yang berkaitan dengan perubahan iklim. Kehadiran SDGs ke-13 ini diharapkan dapat menambah perhatian dari berbagai negara di dunia untuk merespon dampak perubahan iklim yang terjadi. Namun, SDGs ke-13 tentu tidak berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan dengan setiap poin yang tertuang pada SDGs sesuai dengan konteks masing-masing. Hal tersebut dikarenakan penanganan iklim merupakan penanganan yang multisektoral dan multidisiplin sehingga dalam perspektif SDGs pun tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan antara satu sama lain.

Prof. Wiwandari juga menyampaikan mengenai dampak perubahan iklim yang perlu direspon baik itu di negara maju maupun negara berkembang. Seperti yang telah tertulis di atas, perubahan iklim yang terjadi itu bersifat multisektoral dan multidisiplin, maka dampak yang dihasilkan pun multiaspek. Dampak-dampak yang dihasilkan dari perubahan iklim tidak hanya terjadi di satu aspek, tetapi mempengaruhi aspek-aspek lain, seperti bencana alam, ekosistem, kualitas hidup, dan sebagainya. Sejauh ini, upaya-upaya yang dilakukan untuk menangani krisis iklim telah banyak dilakukan. Namun, di negara maju dan negara berkembang perlu untuk diselaraskan seluruh upaya-upaya yang ada. Oleh karena itu, dalam hal ini Prof. Wiwandari menyampaikan ada beberapa upaya yang perlu diselaraskan oleh negara maju dan negara berkembang yang dilihat dari sisi dampak, pendanaan, urgensi, dan akses terhadap kebutuhan dasar.

Dari sisi dampak, baik itu negara maju maupun negara berkembang sama-sama terkena dampak dari perubahan iklim. Namun, dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh negara maju bisa jadi dampak ini hanya mempengaruhi sebagian sektor saja. Sementara bagi negara berkembang, jika dari sisi dampak, pada negara berkembang perubahan iklim terasa sampai dengan sektor primer: kesehatan, pendidikan, dan mempengaruhi kondisi lingkungan serta ekonomi masyarakat. Di samping itu, dari sisi pendanaan negara maju memang berkontribusi dalam skema pendanaan iklim internasional. Namun, hal tersebut ternyata tidak terlalu efektif. Negara berkembang memiliki kapasitas pendanaan yang lebih terbatas walaupun selama ini telah terdapat upaya-upaya kerja sama antara negara maju dan negara berkembang. Pendanaan dalam menghadapi perubahan iklim menjadi suatu tantangan yang besar bagi negara berkembang karena masih memiliki tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi.

Dari sisi urgensi, negara maju masih mengandalkan kegiatan atau aktivitas industri yang berbasis modern yang tidak hanya menghasilkan emisi saja, tetapi turut mengeksploitasi sumber daya alam yang mana berasal dari negara berkembang. Oleh karena itu, apabila ada perubahan iklim sedikit saja di negara berkembang, maka akan mempengaruhi sumber daya alam yang dieksploitasi tidak hanya untuk kepentingan kebutuhan negara itu sendiri, tetapi juga untuk kebutuhan global. Sementara itu, dari sisi akses terhadap kebutuhan dasar, negara maju lebih memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar sehingga beberapa kebijakan yang lebih bernuansa green infrastructure, misalnya transportasi publik, mobil rendah karbon itu lebih dapat dilakukan. Sementara negara berkembang masih banyak keterbatasan, baik itu dalam hal pendanaan, pembiayaan, dan tuntutan untuk peningkatan ekonomi.

Kemudian, Prof. Wiwandari melanjutkan pembahasan mengenai usaha-usaha yang perlu dilakukan dan disinergikan antara negara maju dan negara berkembang terkait dengan perubahan iklim. Prof. Wiwandari menyampaikan bahwa hal tersebut dapat dilakukan dalam perspektif mitigasi perubahan iklim, yaitu mengurangi emisi, mengoptimalkan penggunaan energi terbarukan, dan mengurangi sampah. Sementara itu, dilihat dari sisi kebijakan maka dapat dilakukan dari konsep-konsep CN (Carbon Neutral), Carbon Tax, Zero Carbon. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat mengkoneksikan secara lebih seimbang antara negara maju dan negara berkembang yang perlu didorong serta perlunya internalisasi komponen perubahan iklim dalam berbagai dokumen perencanaan.

Selain itu, apabila ditilik dari sisi adaptasi maka upaya yang dapat dilakukan adalah dengan meminimalisir dampak melalui pendorongan program-program kesetaraan dan keadilan agar masyarakat dengan tingkat risiko dan kerentanan yang tinggi dapat meningkat kapasitasnya dalam menghadapi perubahan iklim yang terjadi. Prof. Wiwandari turut menyampaikan agar dilakukannya pendekatan-pendekatan yang berbasis ekosistem, sehingga ada keseimbangan antara pendekatan yang bernuansa pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pengelolaan lingkungan.

Kegiatan diskusi kemudian berlanjut dengan pemaparan materi dari Pak Indra Jaya Wiranata yang diberi judul “Environmental Matters: Issues and Solutions”. Pak Indra mengatakan bahwa perubahan iklim telah terjadi bahkan sejak adanya peralihan dari zaman berburu menuju ke zaman food gathering. Hal tersebut dapat dilihat dari kemajuan perubahan atau perkembangan peralatan manusia pada zaman dahulu yang mengindikasikan bahwa  ada iklim yang mulai terancam karena penggunaan material dan bahan bakar yang mulai digunakan pada saat itu. Pak Indra menjelaskan penyebab utama dari kerusakan iklim adalah karena ditemukannya inovasi energi, yaitu masa di mana manusia menggunakan batu bara. Selain itu, pak Indra turut menyampaikan bahwa penyebab perubahan iklim ada dua, yakni dari alam dan dari manusia. Namun, dalam hal ini, penyebab dari alam tidak terlalu banyak disinggung oleh karena merupakan suatu “pemberian” di mana alam yang beraktivitas akan menyebabkan krisis iklim. Sementara itu, terdapat beberapa penyebab yang dihasilkan dari manusia, seperti konsentrasi greenhouse gas semakin meningkat sejak revolusi industri pertama di mana emisi dari greenhouse gas meningkatkan efek rumah kaca di Bumi dan menyebabkan suhu permukaan meningkat. Aktivitas manusia menyebabkan konsentrasi karbon dioksida, methane, dan nitrous oxide meningkat dan menghasilkan 30 milyar ton karbon dioksida yang masuk ke atmosfer setiap tahun.

Melihat dari perubahan iklim yang cukup serius, pak Indra menyampaikan bahwasanya belum ada praktik dari setiap negara untuk menanggulangi krisis iklim, bahkan di Indonesia itu sendiri. Indonesia masih belum memiliki kebijakan yang mendukung adanya perubahan iklim, sehingga hanya ada satu solusi untuk dunia global, yakni memangkas 30 gigaton emisi gas rumah kaca per tahun pada 2030. Pak Indra menegaskan pula, meskipun segala upaya telah dilakukan untuk menangani krisis iklim, tetapi hal tersebut tidak bisa apabila hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja. Perlu adanya kontribusi semua negara untuk mengatasi krisis iklim yang terjadi.

Pembahasan yang juga disampaikan oleh pak Indra adalah mengenai kenaikan air laut sebagai dampak dari perubahan iklim, yang menggiring Small Islands Developing States (SIDS) pada kepunahan. SIDS merupakan negara-negara yang menghadapi permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan serta terdapat 58 negara yang teridentifikasi sebagai SIDS. Oleh karena hal ini sudah mengancam serta menjadi semakin serius ketika dibawa ke level negara, maka negara-negara yang tergolong dalam SIDS membuat forum tersendiri untuk membahas secara rutin mengenai permasalahan perubahan iklim dan membawanya ke United Nations pada forum internasional.

Kebijakan-kebijakan global atau forum-forum global telah diupayakan untuk menangani krisis iklim, salah satunya adalah Perjanjian Paris (Paris Agreement). Dalam Perjanjian Paris tertuang mengenai perubahan iklim yang bertujuan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celsius di atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melakukan upaya untuk menekan kenaikan suhu ke 1,5 derajat celsius di atas suhu rata-rata. Selain itu, ada pula upaya yang diprioritaskan oleh UNEP yang memiliki Six Key Sectors dan dapat diupayakan untuk menekan laju peningkatan suhu permukaan Bumi tetap di bawah 1,5 derajat celsius atau memangkas 30 gigaton emisi gas rumah kaca.

Six Key Sectors dari UNEP tersebut terdiri dari: 1) Pada sektor energi, kita memiliki teknologi yang dibutuhkan untuk menuju Renewable dan Using Less Energy di mana hal ini dapat memotong 12,5 gigaton emisi gas rumah kaca per tahun, 2) Industri dapat mengurangi emisinya sebesar 7,3 gigaton per tahun dengan menerapkan sistem pemanas dan pendinginan berbasis energi pasif atau terbarukan, meningkatkan efisiensi energi, dan mengatasi masalah mendesak lainnya, seperti kebocoran metana, 3) Solusi produksi pangan baru dapat mengurangi emisi sebesar 6,7 gigaton per tahun. Mengurangi kehilangan dan pemborosan makanan, dan beralih ke pola makan yang lebih berkelanjutan sehingga dapat mengurangi emisi lebih dari 2 gigaton per tahun, 4) Berkaitan dengan sistem pangan, dunia dapat mengurangi emisi sebesar 5,9 gigaton setiap tahun apabila menghentikan deforestasi, degradasi ekosistem, dan memulihkan ekosistem, 5) Kita dapat mengurangi 4,7 gigaton dengan menggunakan kendaraan listrik, baik di angkutan pribadi maupun umum, serta mendorong masyarakat untuk berjalan kaki, bersepeda, dan menggunakan bentuk transportasi tidak bermotor lainnya dengan menciptakan ruang yang aman, 6) Dengan menjadikan kota dan rumah masa depan sesuai untuk era rendah karbon—dan dengan memperbarui infrastruktur yang ada—kita dapat mengurangi emisi sebesar 5,9 gigaton. Namun, pak Indra menyampaikan bahwa terdapat hambatan dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah disusun sedemikian rupa. Hambatan tersebut adalah bahwa pembakaran batu bara masih merupakan metode yang paling mudah dan murah untuk mensupply energi, baik itu untuk industri maupun sektor lainnya.

Setelah sesi pemaparan materi selesai, kegiatan dilanjutkan dengan diskusi terbuka. Di sini peserta memberikan tanggapan sesuai dengan poin-poin pertanyaan yang telah disampaikan sebelumnya. Pertanyaan pertama mengenai keselarasan kepentingan dan prioritas dari negara maju dan negara berkembang. Pada pertanyaan ini, terdapat salah satu peserta yang menyatakan bahwa karena kepentingan dan prioritas masing-masing negara itu berbeda, maka untuk menyelaraskan kedua hal tersebut dalam penanggulangan perubahan iklim akan sangat sulit. Namun, pendapat tersebut disanggah oleh pernyataan bahwa negara maju dan negara berkembang harus bisa menyelaraskan kepentingan dan prioritas masing-masing dan oleh karena itu PBB mengeluarkan SDGs yang memiliki tujuan untuk membuat negara-negara lebih baik lagi sampai tahun 2030. Pernyataan tersebut kemudian dikuatkan oleh Prof. Wiwandari yang mengatakan bahwa harus ada common interest agar dapat bekerja sama dalam skala internasional di mana harus ada rasa optimis dan mendorong berbagai negara untuk menyelaraskan kepentingan bersama. Salah satu contohnya adalah dengan adanya SDGs yang diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen kebijakan penyelarasan kepentingan antar negara.

Kemudian, pertanyaan kedua menanyakan tentang implementasi kebijakan rezim lingkungan pada negara maju dan negara berkembang. Pertanyaan ini dijawab oleh pak Indra bahwasanya ada banyak kebijakan yang diimplementasikan secara bersama oleh negara-negara. Pertama, adanya SDGs goal atau tujuan pembangunan berkelanjutan yang dilakukan bersama dan merupakan misi global untuk mencapai kesejahteraan bersama. Tujuan dari SDGs itu sendiri sebenarnya satu, yaitu mensejahterakan yang tiap poin-poinnya telah disesuaikan dengan setiap kepentingan dari semua level aktor internasional. Kedua, bahwa negara maju diwajibkan untuk membayar sebesar US$ 100 miliar per tahun yang digunakan untuk membantu negara-negara berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi. Terakhir, ada Protokol Kyoto yang di dalamnya terdapat pembagian kategori negara. Pada Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme untuk pengurangan emisi gas rumah kaca secara bersamaan, yaitu joint implementation, perdagangan emisi, dan mekanisme pembangunan bersih atau CDM (Clean Development Mechanism).

Joint implementation merupakan mekanisme penurunan emisi yang melibatkan negara-negara annex I (negara-negara industri maju) mengalihkan pengurangan emisi melalui proyek yang dilakukan bersama dengan negara-negara berkembang. Kedua, perdagangan emisi merupakan mekanisme perdagangan emisi yang dilakukan antar negara industri di mana negara-negara industri yang memiliki emisi gas rumah kaca di bawah batas yang diinginkan dapat menjual kelebihan jatah emisinya tersebut ke negara industri yang masih belum mencapai ambang batas atau bisa dikatakan sebagai distribusi emisi gas. Ketiga, CDM merupakan mekanisme penurunan emisi GRK dalam rangka kerja sama negara industri dengan negara berkembang yang bertujuan agar negara annex I dapat mencapai target pengurangan emisi melalui program pengurangan emisi GRK yang dilakukan oleh negara-negara berkembang.

Pertanyaan ketiga membahas mengenai hambatan yang harus diantisipasi dan bentuk kebijakan yang harus diambil dalam global climate regime. Dalam hal ini, ada peserta yang menyampaikan bahwa hambatan yang perlu diantisipasi adalah pertama mengenai perbedaan prioritas antar negara. Kedua, adanya dilema pada negara karena perekonomian suatu negara, apalagi negara maju, bergantung pada industri di mana produksi dari industri mereka harus berkurang apabila mereka melakukan pengurangan gas karbon dan tentu hal tersebut berpengaruh pada perekonomian suatu negara. Pertanyaan ini turut dikuatkan oleh Prof. Wiwandari dan pak Indra. Prof. Wiwandari mengatakan hal ini dapat dilihat dari perspektif Indonesia dalam upaya mendorong kebijakan yang memiliki hambatan dari sisi internal dan eksternal. Secara internal, Indonesia tidak mudah untuk dapat menyesuaikan dengan Paris Agreement dan Protokol Kyoto karena instrumen kebijakan yang telah dan sedang disiapkan memerlukan suatu proses koordinasi dan kesamaan persepsi yang masih memiliki hambatan. Selain itu, Indonesia memiliki tugas secara internal agar dapat mendorong kebijakan-kebijakan yang pro iklim.

Ditilik dari sisi eksternal, maka hal itu dilihat dari kapasitas Indonesia untuk berkomunikasi dan bernegosiasi dengan negara-negara lain serta komitmen dengan perjanjuan-perjanjian yang telah disepakati secara global. Menurut Prof. Wiwandari, apa yang menjadi “corong” atau ujung adalah komitmen dari para pengambil keputusan. Jika dari para pengambil keputusan dalam mengawal dan menjaga setiap kebijakan yang telah disepakati ternyata masih dicederai, maka akan sangat sulit untuk mengatasi hambatan internal dan eksternal.

Sementara itu, pak Indra menjawab dari perspektif hubungan internasional bahwa terdapat beberapa hambatan atau barriers dalam upaya penyelamatan krisis iklim, contohnya seperti birokrasi, kebijakan dalam negara, dan tipe masyarakat yang ada di setiap negara. Dalam hal ini tidak hanya mengandalkan pemerintah saja, melainkan masyarakat yang menjadi objek dari suatu kebijakan juga harus berperan dalam terlaksananya kebijakan yang telah dihasilkan. Jika dilihat dari perspektif global, maka hambatannya bahwa penggunaan batu bara masih menjadi favorit bagi negara-negara yang memiliki budget “pas-pasan” untuk tetap menjalankan perekonomiannya, tetapi juga dituntut untuk memelihara kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, dilahirkanlah kebijakan kompensasi bagi negara industri maju untuk membantu negara-negara berkembang dalam memelihara iklim. Selain itu, hambatan yang harus diantisipasi adalah bahwa masih ada beberapa negara yang tidak patuh denga agenda-agenda global. Sebagai jawaban penutup untuk pertanyaan ketiga, pak Indra menyatakan bahwa visi untuk penanganan krisis iklim harus ditanamkan di setiap negara.

Pada akhir kegiatan diskusi, para pembicara menyampaikan closing statement di mana dari pak Indra menyatakan bahwa permasalahan iklim merupakan permasalahan global yang sudah terjadi lama dan permasalahan masa depan manusia. Upaya untuk menekan atau mencegah permasalahan ini semakin besar, yaitu dengan kolaborasi setiap aktor yang terdampak, contohnya negara. Tanpa adanya kolaborasi, solusi tidak akan pernah terlahir. Setiap negara memiliki perbedaan, baik itu kapasitas ekonomi, jenis-jenis budaya, dan masyarakat yang menjadi sebuah “keutuhan puzzle” yang sekiranya dapat saling melengkapi satu sama lain untuk melahirkan solusi permasalahan global yang dirasakan bersama. Di lain sisi, Prof. Wiwandari menyatakan ada suatu keyword atau kata kunci, yaitu awareness. Agar dapat melakukan kolaborasi, seluruh pihak harus dapat bersama-sama membangun kesadaran dan literasi terkait dengan isu-isu perubahan iklim. Perlu juga pemahaman dan pembangunan komitmen. Seluruh stakeholders harus dapat berkolaborasi untuk mengatasi segala hambatan dan optimis bahwa cita-cita atau skenario IPCC ke depan dapat tercapai.

Other related posts you can read

BKA

IRDISH #27 – Conflict 101: Menilik Krisis Humaniter Myanmar

Pada Jumat, 22 September 2023, telah diselenggarakan program kerja IRDISH oleh BKA HMPSHI yang bertema “Conflict 101: Menilik Krisis Humaniter Myanmar” Diskusi ini membahas persoalan konflik dalam HI dipandu oleh dua pemantik diskusi, yakni Fanni Siagian dan Muhammad Fatahillah dari HI UNDIP angkatan 2021.

Read More »