Pada Jumat, 22 September 2023, telah diselenggarakan program kerja IRDISH oleh BKA HMPSHI yang bertema “Conflict 101: Menilik Krisis Humaniter Myanmar” Diskusi ini membahas persoalan konflik dalam HI dipandu oleh dua pemantik diskusi, yakni Fanni Siagian dan Muhammad Fatahillah dari HI UNDIP angkatan 2021. Diskusi tersebut berlangsung selama 120 menit di Gedung D FISIP UNDIP.
Konflik merupakan hal yang tidak terhindarkan mengingat penyebab konflik yakni perbedaan adalah hal yang sangat umum ditemui. Dalam konteks hubungan internasional, konflik dapat berupa konflik ide dan konflik kepentingan. Konflik ide dapat berupa konflik etnis, konflik ideologi, dan konflik agama. Sementara itu, konflik kepentingan dapat berupa konflik teritorial, konflik governmental, dan konflik ekonomi. Penanganan konflik dapat disesuaikan dengan tingkat kompleksitas dari konflik itu sendiri, yaitu melalui mediasi, negosiasi, arbitrase, dan jalan terakhir adalah dengan perang. Berdasarkan hal tersebut, IRDISH #27 membahas pertanyaan terkait urgensi dan studi kasus konflik, yakni konflik humaniter Myanmar dengan topik bahasan yang lebih spesifik berupa pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya.
Untuk memberikan garis besar pembahasan diskusi, pemantik mengawali dengan membahas overview materi diskusi. Dalam overview materi tersebut, tidak lupa diberikan contoh konkret mengenai studi kasus permasalahan yang ditampilkan dalam bentuk PowerPoint. Overview materi berfungsi untuk memberikan pemahaman kepada peserta mengenai topik yang akan dibahas serta beberapa sudut pandang yang umum mengenai topik tersebut. Setelah pembahasan overview selesai, acara dilanjutkan dengan diskusi oleh peserta. Peserta dengan aktif mengajukan pendapat secara bergantian terkait pertanyaan yang dilemparkan, hingga didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
- Konflik dibutuhkan agar negara bisa berkembang. Apabila konflik seperti konflik dagang terlanjur terjadi, hal tersebut bisa diarahkan ke arah yang positif agar negara juga punya kesempatan belajar dan berkembang untuk bersaing. Intinya konflik yang terjadi sebisa mungkin tidak disikapi dengan keras agar tidak berakhir dengan perang.
- Konflik merupakan sesuatu yang bisa diciptakan dalam semalam. Namun, resolusi dari konflik membutuhkan waktu yang tidak sebentar, terutama jika konflik tersebut mempunyai kompleksitas yang luar biasa, seperti konflik humaniter Myanmar.
- Lawan kata konflik adalah damai sejatinya tidak ada. Pernyataan “damai” lebih mengarah ke utopia yang melekat pada ajaran religius dan hanya bisa diraih setelah kematian. Sedangkan manusia hidup dalam segala perbedaan yang membuat konflik tidak bisa dihindari. Manusia bersifat dinamis, begitu pula negara.
- ASEAN sebagai organisasi internasional yang menaungi negara-negara Asia Tenggara telah melakukan beberapa upaya untuk menghentikan konflik Myanmar, termasuk dengan melarang pejabat politik Myanmar untuk mengikuti agenda ASEAN. Namun, hal tersebut tidak berdampak besar bagi konflik yang semakin memanas sejak Februari 2021 ini. Selain itu, lima konsensus yang dicetuskan pada pertemuan di Jakarta, 24 April 2021, yakni pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian aksi kekerasan, penyelenggaraan dialog inklusif, pembentukan utusan khusus, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar juga stagnan. ASEAN dengan prinsipnya ASEAN Way mencegah organisasi tersebut untuk melakukan konfrontasi dengan kekerasan dan mengutamakan kedaulatan, karena kedaulatan adalah milik negara.
- Myanmar adalah negara penghasil minyak. Kemampuannya menghasilkan minyak tentu membuatnya bisa berdiri tegak meski diterpa kritik dari berbagai negara. Kelimpahan sumber daya alam ini juga menyebabkan bahwa tidak semua negara berani mengkritik Myanmar secara keras. Kebanyakan negara demokratis seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina yang bersikap keras terhadap kudeta dan pelanggaran HAM tersebut.
- Meski konflik Myanmar susah diselesaikan karena kompleksitas masalahnya (terkait dengan historical context), upaya penyelesaian yang bisa ditangani oleh ASEAN adalah dengan memperbaiki ASEAN Way atau menerapkan R2P (Responsibility to Protect) baik secara parsial maupun keseluruhan. Sebab menurut mazhab English School, negara lain memiliki hak untuk melakukan intervensi apabila nilai-nilai universal dilanggar.